Makalah Sejarah Tafsir Al-qur'an pada Masa Rasulullah dan Sahabat


BAB II
PEMBAHASAN

Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul SAW, yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw, walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.[1]
Penafsiran atau pemahaman rasulullah terhadap al-Qur’an selalu dibantu wahyu, Siti Aisyah r.a berkata: “Nabi menafsirkan hanya beberapa ayat saja menurut petunjuk-petunjuk yang diberi Jibril”. Sahabat-sahabat yang mulia tidak ada yang berani  menafsirkan al-Qur’an ketika rasul masih hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an, memang apabila mereka tiada mengetahui suatu lafazh Al-Qur’an atau maksud suatu ayat, segeralah mereka bertanya pada rasul sendiri atau kepada sahabat yang dipandang dapat menjelaskannya.[2]
Kalau pada masa Rasul saw, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
a.         Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti : Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas.
b.        Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab.
c.         Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.[3]

Berbeda dengan pada masa rasulullah, para sahabat hanya memahami Al-Qur’an secara garis besar. Mereka tidak memiliki pemahaman yang detail tentang ayat-ayat Al-qur’an, lantaran mereka mengetahui bahasa Al-Qur’an . sebaliknya, mereka harus melakukan penelitian dan merujuk kepada Nabi SAW. Selain itu tingkatan pemahaman para sahabat terhadap Al-Qur’an tidak sama. Buktinya, ketika ‘Umar bin Khattab naik mimbar dan membaca firman Allah: “wa fakihatan wa abban”, maka beliau bertanya tentang kata abban.
Ibnu ‘Abbas yang bergelar Tarjuman Al-qur’an pun tidak mengetahui kata Fatir kecuali setelah mendengar dari kata orang lain.
Banyak sahabat yang dibekali Rasulullah SAW dengan ilmu Al-Qur’an, dan ada pula yang akrab bergaul dengan Rasulullah SAW, sehingga banyak diantara mereka menjadi mufassir di kalangan sahabat. Apabila diseleksi untuk menemukan beberapa sahabat yang paling banyak memberikan penafsiran tentang ayat-ayat Al-Qur’an, maka ada sepuluh sahabat yang utama dalam bidang tafsir, yaitu :
a.    Abu Bakar as-siddiq
b.    Umar bin al-kattab
c.    Usman bin affan
d.   Ali bin Abu Talib
e.    Abdullah bin Mas’ud
f.     Abdullah bin Abbas
g.    Ubai bin Ka’ab
h.    Zaid bin Sabit
i.      Abu Musa al-asy’ari
j.      Abdullah bin Zubair

Empat orang diantaranya menjadi kholifah Rasul. Keempatnya dinamai Khulafa’ur-Rasyidin. Dari keempat orang ini, Ali bin Abu Thalib tercatat sebagai yang paling banyak menafsirkan Al-Qur’an. Sedangkan Abu Bakar, Umar, dan Usman sedikit sekali riwayat tafsir yang berasal dari beliau. Hal itu disebabkan karena mereka terdahulu wafat dan tafsir pada masa itu belum berkembang dengan pesat. Namun di antara sepuluh sahabat diatas, Ibnu Abbas yang paling banyak, paling utama, dan paling dalam pengetahuanya mengenai tafsir Al-Qur’an.

Tafsir di masa para sahabat ini memiliki 4 sumber, yaitu :
a.       Al-qur’an al-karim, yang dalam implementasinya disebut Tafsir Al-Qur’an bil-Qur’an. Diantara bentuk penafsiran model ini adalah kompromi diantara kalimat-kalimat yang secara garis sekilas tampak berbeda. Seperti firman Allah dalam surat al-fatihah : “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya”. Yang dimaksud dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh allah itu dijelaskan dalan surat an-nisa’ : “dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (muhammad), maka mereka itu akan bersam-sama dengan orang yang dierikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (an-nisa’/4:69)
b.      Nabi saw yang dalam implementasinya disebut Tafsir Al-Qur’an bis-sunnah. Jika merujuk ke kitab-kitab sunnah, maka kita menemukan banyak bab tafsir di dalamnya. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan perawi lain dari Adi bin Hibban. Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya orang-orang yang dimurkai oleh Allah (dalam surat al fatihah) adalah yahudi, dan orang yang sesat adalah orang-orang nasrani.
c.       Tafsir Al-Qur’an dengan pendapat sahabat. Apabila para sahabat tidak menemukan penafsiran dalam Al-Qur’an, serta tidak mudah untuk mengambilnya dari Rasulullah saw, maka mereka kembali kepada ijtihad dan pendapat mereka, seperti yang dilakukan oleh Mu’az bin Jabal ketika diutus Rasulullah saw untuk berdakwah di suatu kaum.
d.      Ahli kitab dari umat Yahudi dan Nasrani. Hal itu karena Al-Qur’an al-Karim sejalan dengan Taurat dalam beberapa masalahnya, khususnya dalam kisah para Nabi dan hal-hala yang terkait dengan umat-umat di masa lalu, seperti halnya Al-Qur’an mengandung masalah-masalah yang terdapat dalam kitab-kitab injil seperti kelahiran Isa putra maryam dan mukjizat-mukjizatnya. Hanya saja, sumber keempat ini tidak banyak diambil mengingat telah terjadi banyak penyimpangan di dalamnya.[4]

Sebab-sebab terjadinya perbedaan tafsir pada masa Sahabat :
            Perbedaan penafsiran telah terjadi di zaman sahabat, meskipun perbedaan mereka ini relatif lebih sedikit dibanding dengan perbedaan yang terjadi di masa tabi’in dan sesudahnya. Perbedaan sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an lebih dikarenakan ketidaksamaan mereka dalam menguasai piranti-piranti yang digunakanuntuk memahami Al-Qur’an sebagai berikut :
a.       Tata bahasa Arabnya. Ia membantu memahami ayat-ayat yang pemahamannya tidak bergantung pada bahasa selain bahasa Arab.
b.      Pengetahuan tentang berbagai kebiasaan masyarat Arab.
c.       Pengetahuan tentang kondisi Yahudi dan Nasrani di jazirah Arab waktu turunya Al-Qur’an

2.    Tafsir pada Masa Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in
            Periode pertama berakhir ditandai dengan berakhirnya generasi sahabat. Lalu dimulailah periode kedua tafsir, yaitu periode tabiin yang belajar langsung dari sahabat. Para tabiin selalu mengikuti jejak gurunya yang masyhur dalam penafsiran al-Qur’an, terutama mengenai ayat-ayat yang musykil pengertiannya bagi orang-orang awam.
            Tabiin mengajarkan pula kepada orang-orang yang sesudahnya yang disebut (tabi’it-tabi’in), tabi’it-tabi’in inilah yang mula-mula menyusun kitab-kitab tafsir secara sederhana yang mereka kumpulkan dari perkataan-perkataan sahabat dan tabi’in tadi. Dari kalangan tabiin ini dikenal nama-nama mufassirin sebagai berikut: Sufyan bin ‘Uyainah, Waki’ bin Jarrah, Syu’bah bin Hajjaj, Yazid bin Harun, dan Abduh bin Humaid. Mereka inilah yang merupakan sumber dari bahan-bahan tafsir yang kelak dibukukan oleh seorang mufassir besar bernama Ibnu Jarir at-Tabari. Ibnu Jarir inilah yang menjadi bapak bagi para mufassir sesudahnya (lebih dikenal dengan at-Tabari).
            Sebagaimana sebagian sahabat terkenal dengan ahli tafsir, maka sebagian tabi’in terkenal dengan ahli tafsir dimana para tabi’in mengambil tafsir dari mereka yang sumber-sumbernya berpegang kepada sumber-sumber yang ada pada masa sebelumnya, disamping adanya ijtihad dan penalaran.
            Berikut sumber-sumber tafsir pada masa tabi’in dan tabi’ tabi’in :
Ustadz Muhammad Husain Adz Dzahabi berkata: Para mufassir dalam memahami Kitabullah adalah berpegang pada :
a.         Kitabullah.
b.        Riwayat dari sahabat dari Rosulullah SAW.
c.         Pendapat sahabat.
d.        Ijtihad dan pemahaman yang diberikan Allah SWT. kepada para tabi’in untuk mengetahui makna Al-Qur’an.

            Para tabi’in dalam mempelajari dan memahami isi-isi Al-Qur’an adalah melangsungkan tindakan-tndakan yang dipraktekkan para sahabat, yaitu mereka ada yang menerima dan ada yang menolak tafsir bil ijtihad. Diantara yang menerima dasar ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an ialah Mujahid, Ikrimah dan sahabat-sahabatnya. Hanya saja mereka dan kawan-kawannya melarang bagi orang-orang yang tidak sempurna alat-alat tafsirnya untuk menafsirkan Al-Qur’an yaitu :
a.    Orang yang kurang pengetahuan bahasa arabnya.
b.    Orang yang belum mampu mempelajari Al-Qur’an dalam segi hubungan mujmal dan mufashshalnya.

            Dalam memahami kitabullah, para mufasir dari kalangan tabi’in berpegang pada apa yang ada dalam  al qur’an itu sendiri, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari rasulullah, penafsiran yang mereka terima dari para sahabat berupa penafsiran mereka itu sendiri.             Keterangan yang terima tabi’in dari ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka, dan ijtihat serta pertimbangan nalar mereka terhadap kitabullah sebagaimana yang telah dianugrahkan Allah kepada mereka. Kitab-kitab tafsir menginformasikan kepada kita pendapat-pendapat tabi’in tentang tafsir mereka hasil melalui ra’y dan ijtihat.  Dan penafsiran mereka ini sedikit pun bukan berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Tafsir yang dinukil dari Rasulullah dan para sabahat tidak mencakup semua ayat al qur’an, mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap di saat manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan sahabat. Maka para tabi’in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan ini. Karenannya mereka pun menambahkan ke dalam  tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut.[5]
            Setelah itu muncullah generasi sesudah tabi’in. Dan generasi ini pun berusaha menyempurnakan kembali tafsir Al-Qur’an secara terus menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa Arab dan cara bertutur kata. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang mereka pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarana pengkajian lainnya. Penalukan islam semakin luas hal ini mendorong tokoh-tokoh sahabat berpindah ke daerah-daerah taklukan dan masing-masing mereka membawa ilmu. Dari tangan mereka inilah para tabi’in, murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga tumbuhlah berbagai madzhab dan perguruan tafsir. Baik di Mekah, Medinah, dan Irak.[6]

3.    Tafsir pada Masa Mufassir Klasik dan Modern Dan Tokohnya
Dalam kajian tafsir, sebagaimana penafsiran sebelumnya, tafsir abad modern selalu terdorong untuk menyesuaikan al Qur’an dengan kondisi para mufassirnya. Pengaruh ilmu pengetahuan barangkali merupakan faktor utama dalam melahirkan dan memicu para penafsir memberikan respon. Mereka pada umumnya yakin bahwa umat Islam belum memahami hakikat pesan al Qur’an secara utuh, karena itu mereka belum bisa menangkap spirit rasional Al Qur’an. Kaum modernis mempunyai pandangan misalnya, menafsirkan al Qur’an sesuai dengan penalaran rasional, dengan konsep penafsiran al Qur’an dengan al Qur’an, atau kembali kepada al Qur’an. Mereka juga menentang legenda, fantasi, magic, tahayul dengan cara mengembangkan penafsiran simbolis. Kaum modernis juga memahami dan menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan pemikirannya. Mereka menyakini bahwa penafsiran al Qur’an tidak hanya hak para ulama terdahulu, melainkan terbuka bagi setiap muslim.
Dalam pandangan para pembaharu, mufassir klasik selalu menyesuaikan karya mereka dengan keadaan zamannya. Oleh karena itu pada periode sekarang penafsiran diorientasikan ke masa kini. Ada beberapa kelebihan tafsir pada masa klasik terutama pada masa sahabat, antara lain yaitu:
a.       Tidak bersifat sektarian yang dimaksudkan untuk membela madzhab tertentu.
b.      Tidak banyak perbedaan pendapat diantara mereka mengenai hasil penafsirannya.
c.       Belum kemasukan riwayat-riwayat isra’iliyyat yang dapat merusak akidah Islam (terutama tafsir masa Nabi dan sahabat).[7]

4.    Tafsir pada Era Kontemporer
            Tafsir Era Kontemporer ialah ‘Tafsir atau penjelasan ayat Al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini’. Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni ‘usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat.
Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al-Qur’an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar belakanginya.
Adapun problem kemanusiaan yang muncul dihadapan adalah seperti; masalah Kemiskinan, Pengangguran, Kesehatan, Ketidakadilan, Hukum, Ekonomi, Politik, Budaya. Sehingga dengan demikian metodologi tafsir kontemporer adalah kajian di sekitar metode-metode tafsir yang berkembang pada era kontemporer.[8]
            Pengertian kontemporer biasanya dikaitkan dengan zaman yang berlangsung. Istilah kontemporer ini sering kali dipakai untuk menunjukkan periode yang tengah kita jalani sekarang, buka periode yang telah berlalu. Dalam konteks perkembangan tafsir, istilah masa kontemporer terkait dengan situasi dan kondisi tafsir pada saat ini. Dengan demikian, ia dibedakan dengan masa modern.
  Meski demikian, perkembangan tafsir masa kontemporer sangat tidak bisa dilepaskan dengan perkembangannya di masa modern. Setidaknya, gagasan-gagasan yang berkembang pada masa kontemporer ini sudah bermula sejak zaman modern, yakni pada masa Muhammad ‘Abduh dan Rashid Rida. Hanya saja secara substansial, terdapat banyak perbedaan antara masa kedua mufassir ini dengan perkembangan tafsir yang terjadi saat ini.
  Berangkat dengan tujuan untuk mengembalikan al Qur’an sebagai hudan li an Nas, metode yang digunakan oleh para mufassir kontemporerpun sedikit banyak berlainan dengan yang digunakan oleh para mufassir tradisional. Kalau para mufassir tradisional kebanyakan cenderung melakukan penafsiran dengan memakai metode tahlily (analitis), maka dalam masa kontemporer penafsiran dilakukan dengan menggunakan metode ijmaly (global), mawdu’iy (tematik) atau penafsiran ayat-ayat tertentu dengan menggunakan pendekatan-pendekatan modern seperti semantik, analisis gender, semiotik, hermeneutika, dan sebagainya.
Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting. Shah waliyullah ( 1701-1762 ) seorang pembaharu islam dari Delhi, merupakan orang yang berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir “MODERN” , dua karyanya yang monumental, yaitu, Hujjah al balighah dan Ta`wil al Hadits fi rumuz Qishash al Anbiya, adalah karya yang memuat tentang pemikiran modern. Tidak sia-sia usaha ini telah merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat hal serupa, maka di Mesir, munculah tafsir Muhammad Abduh, Rasyid ridha, Ahmad Khalaf, dan Muhammad Kamil Husain. Di belahan Indo-Pakistan, kita mengenal tokoh seperti Abu Azad, Al Masriqqi, G.A Parws, dan sederetan tokoh lainnya. Di penjuru Timur Tengah, semisal Amin Al Khull, Hasan Hanafi . Bita Shathi, Nasr Abu Zayd, Muhammad Shahrur, dan Fazlur Rahman.[9]











[1] Mudzakir As, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Bogor: P.T Pustaka Litera Antarnusa, 2013, hlm. 469.
[2] Said Agil Husain al Munawar, Al-qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: P.T Ciputat Press, 2005, hlm. 65.
[3]Mudzakir As, Op. Cit., hlm. 470.
[4] Depag RI, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), cet. 3, Hlm. 45-46.
[5] Mudzakir As, Op. Cit., hlm. 473.
[6] Ibid., hlm. 474.
[7]http://ww/Tafsir%20Kontemporer%20dan%20Penjelasannya%20_%20Dakwah%20Syariah. Diakses 20/03/2015, Jam 21:10.
[8]Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2005, hlm. 81.

[9] http://www.slideshare.net/roedyblackvone/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-ilmu-tafsir, Diakses 19/03/2015, Jam 18:45.

Komentar

  1. Artikel kamu bagus gan! aku selalu menunggu artikel kamu.. Seperti artikel berjudul Tafsir Mimpi Suara

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BOX PLANAR SHOND SYSTEM

Makalah Menjadi Guru yang Profesional