Makalah Istihsan Hukum yang tidak Di Sepakati


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Istihsan
          Menurut bahasa istihsan berarti menilai sesuatu sebagai baik.[1] Sedangkan istihsan menurut Imam Abu al-Hasan al-Karkhi adalah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan dalam masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukanya menyimpang itu.
            Sedangkan menurut Istihsan ulama ushul fiqih Istihsan Ialah berpalingnya seseorang mujtahid dari tuntutan Qias yang Jali (nyata) kepada tuntutan Qias yang Khafiy (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum Istisnaiya (pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.
            Menurut al-Karkhi yang dimaksud dengan Istihsan ialah berpalingnya seorag mujtahid dari satu hukum pada satu masalah dari yang sebandingnya kepada hukum yang lain, karena ada suatu pertimbangan yang lebih utama yang menghendaki perpalingan.
      Menurut Abu Zahra pengertian yang dukemukakan oleh al-Karkhi ini merupaka pengertian yang paling jelas menggambarkan hakekat istihsan dan menunjukkan pada asas serta isinya, sebab asas Istihsan itu adalah menetapkan hukum yang berbeda dengan kaedah umum, karena ada suatu yang menjadikan keluar dari kaedah umum karena ada suatu yang menjadikan keluar dari kaedah umum itu dapat menghasilkan ketentuan hukum yang lebih sesuai dengan kehendak syarak dari pada tetap berpegang kepada kaedah itu. maka berpegang pada Istihsan merupakan cara penetapan hukum yang lebih kuat dalam masalah tersebut dari pada berpegang kepada qiyas.[2]
  Para ulama’ juga ada yang berpendapat lain terhadap pengertian istihsan ini, namun dari bebagai perbedaan pendapat itu  menurut Imam Abu al-Hasan al-Karkhi lah yang paling kena menjelaskan tentang istihsan karena mencakup seluruh macam istihsan serta dapat menyentuh pada asas dan inti pengertiannya. Asas yang dimaksud ialah adanya diktum hukum yang menyimpang dari kaedah yang berlaku, sehingga berpegang pada istihsan dalam pemecahan kasus itu lebih kuat dari pada menggunakan dalil qiyas.[3]

2.      Macam-macam istihsan
            Secara sederhana hakikat istihsan terdiri atas dua macam yaitu : istihsan qiyasi dan istihsan istitsna’i.
a.    istihsan qiyasi
            Adalah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi. Karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan yang kuat dimaksudkan adalah kemaslahatan.
            Seperti contoh apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah pertanian untuk kepentingan umum maka berdasarkan istihsan, yang diwakafkan nya itu termasuk hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu, dan bentuk-bentuk lainya yang berkaitan dengan tanah tersebut.
            Apabila ketentuan qiyas jali kepada transaksi jual beli, maka hak-hak tersebut tidak ikut beralih kepada penerima wakaf. Sebab dalam jual beli, yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Akan tetapi, karena alasan kemaslahatan, maka hak-hak tersebut ikut berpindah kepada penerima wakaf. Yaitu dengan cara meng-qiyas-kan wakaf itu kepada transaksi sewa-menyewa.
            Sebagaimana diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda dengan mulut binatang buas yang tidak langsung bertemu dengan hidungnya. Mulut binatang buas terdiri atas daging yang haram dimakan, sedang paruh burung buas merupakan tulang atau zat tanduk, sedangkan tulang atau zat tanduk tidak najis. Ketika burung buas minum, daging dan air liurnya tidak secara langsung bertemu dengan air, karena dipisahkan oleh paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk itu. Oleh karena itu, air sisa minuman burung buas tidak najis dan halal diminum.[4]
            Perbedaan hukum antara air sisa minum burung buas dengan air sisa minum binatang buas ini ditetapkan istihsan qiyasi, yaitu mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena adanya alasan yang kuat untuk itu yaitu kemaslahatan.[5]

b.   Istihsan istisna’i
            Adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus. Istihsan istitsna’i dibagi menjadi lima :
1)        Istihsan bi an-nashsh
Adalah pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nashsh yang mengecualikannya, baik nashsh tersebut al-qur’an maupun sunnah. (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits).
2)        Istihsan bi al-ijma’
Adalah pengalihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan yang lain dalam bentuk pengecualian, karena ada ketentuan ijma’yang mengecualikannya. (istihsan yang didasarkan kepada ijma).
3)        Istihsan bi al-urf
Adalah pengecualian hukum dari prinsip syariah yang umum, berdasarkan kebiasaan yang berlaku. (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
Contohnya menetapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan jauh atau dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab transaksi upah mengupah harus berdasarkan kejelasan pada objek upah yang dibayar. Akan tetapi, melalui istihsan, transaksi tersebut diperbolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi menjaga jangan timbul kesulitan masyarakat, dan terpeliharanya kebutuhan mereka terhadap transaksi tersebut.[6]
4)        Istihsan bi ad-dharurah
Adalah suatu keadaan darurat yang mendorong mujtahid untuk mengecualikan ketentuan qiyas yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang memenuhi kebutuhan mengatasi keadaan darurat. (istihsan berdasarkan dharurah).
5)        Istihsan bi al-mashlahah al mursalah
Adalah mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslahatan. (istihsan berdasarkan kemaslahatan).[7]

3.        Kehujjahan Istihsan
            Jumhur ulama ushul Fiqh dari mazhab Maliki, Hanafi, dan sebagian besar Hanbali menyatakan bahwa istihan adalah salah satu dalil syara’ yang menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan apa yang diwajibkan oleh qiyas, atau umunya nash. Terutama Hanafiyah sangat mengutamakan istihsan yang dianggap lebih kuat dan memiliki dalil, serta meninggalkan qiyas. Hal ini terlihat dalam ungkapan Abu Hanifah: (kami memakai istihsan untuk hal ini, dan meninggalkan qiyas). Ucapan Abu Hanifah ini diperkuat oleh Abu Al-Khattab dengan ungkapannya : “Saya menolak istihsan tanpa delil, dan menerimanya apabila ada dalil yang jelas dan meninggalkan qiyas. Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan, tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang dilakukannya itu. Oleh karena itu dia dikatakan menetapkan hukum hanya menurut kemauannya saja tanpa memakai metode. Asal sudah dipandang baik sudah bisa menjadi dasar penetapan hukum, karena demikianlah arti yang ditunjukkan oleh kata  isthsan itu. Banyak fuqaha yang tidak mengetahui hakikat  istihsan  yang dipraktekkan oleh Abu Hanifah, dan karena itu menurut Husain Hamid Hassan, berpegangnya Abu Hanifah kepada isthsan menjadi sumber kritikan terhadapnya. Malah sampai kepada mencelanya sebagai orang yang tidak mengetahui fiqh dan meragukan kewarakannya.
            Bagi Hanafiyah dan Malikiyah pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati si Mujtahid. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum), dan ini juga disebut dengan segi istihsan.[8]
            Adapun dalil yang dipegang oleh ulama yang meyakini istihsan sebagai dalil hukum adalah:

ٱلَّذِينَ يَسۡتَمِعُونَ ٱلۡقَوۡلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحۡسَنَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٨
Artinya : yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar: 18)

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Qs. Albaqarah: 185)

4.      Contoh Istihsan
            Contoh istihsan dalam kehidupan sehari-hari, seorang dokter diperbolehkan melihat bagian anggota tubuh pada wilayah aurat pasien, untuk ditemukan penyakit yg mengidap di tubuhnya. Demikian ini dilakukan atas pertimbangan mashlahat dan demi kesembuhan pasien, karna jika tindakan medis dokter ini dilarang maka sama halnya mengabaikan kesehatan pasien.
            Contoh lain, ada seorang bapak mewaqafkan 1 hektar tanah miliknya untuk dibangunkan sebuah masjid, dengan mengatakan, "aku waqafkan 1 hektar tanah ini untuk masjid", tanpa memerinci apapun yg ada pada bagian2 masjid. akad waqaf dalam fikih selalu diqiyaskan dengan jual beli, dengan begitu tanah 1 hektar hanyalah masjid, artinya tidak boleh ada fasilitas-fasilitas apapun didalamnya, seperti tempat wudhu, tempat sandal, halaman masjid (parkiran), ruang takmir . Nah, jika terjadi demikian maka fungsional masjid tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal, bahkan mempersulit jama'ah sholat. Beda halnya bila dipandang melalui kacamata istihsan, fasilitas-fasilitas masjid bisa menjadi ada, sebab menitikberatkan pada inti mashlahatnya, sehingga menjadikan masjid dapat berfungsi secara kompleks.
            Akan tetapi, setelah diteliti dan ditelusuri lebih dalam, perbedaan ini terjadi karena masing-masing imam mempunyai argumentasi atau alasan tersendiri untuk menggunakan dan menolaknya. Seperti halnya imam as Syafii, menolak menggunakan istihsan, sebab beliau menganggap dalam diri pelaku istihsan terdapat hawa nafsu dan keinginan mencari kemudahan. sementara imam hanafi dan imam maliki memilih menggunakanya atas dasar kebutuhan ijtihady.
            Berangkat dari sisi yang berlawanan, Imam as syathibi, salah seorang generasi ulama syafi'i terkemuka, berusaha memberi jalan tengah dalam menggunakan istihsan, beliau menuliskannya dalam kitab Al Muwafaqot, “siapa saja yg menggunakan Istihsan sebagai alat istinbath hukum maka seketika itu dia dilarang keras menggunakannya atas dasar mencari kemudahan dan hawa nafsu semata, tetapi juga harus mengerti dan faham dengan baik tentang tujuan Allah Swt. menetapkan hukum-hukum syariat beserta kaidah-kaidahnya.
            Dan Rupanya standarisasi As syathibi membuka jalan bagi ulama-ulama kontemporer dewasa ini untuk mulai memakai istihsan sebagai salah satu komponen untuk menimba hukum, karna istihsan sendiri dinilai telah mampu beradaptasi dengan problem kekinian.
            Kebijakan dan keadilan seorang mujtahid mengemban langkah determinan dalam memberi solusi terbaik atas masalah yang dihadapi ummat, sehingga membutuhkan jalan fleksible untuk menuai sebuah hukum tertentu yang sesuai dan pas untuk dipersembahkan kepada ummat setelah menyesuaikannya dengan kemampuan mereka.[9]




[1] Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 197.
[2] Ibid., hlm. 199.
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), hlm. 401.

[4] Ibid., hlm. 402.
[5] Abd Rahman Dahlan , Op. Cit., hlm. 151.
[6] Asnawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 101.
[7] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm. 71.
[8] Asnawi, Op. Cit., hlm. 104.
[9] Yusuf al-Qaradhawi, Op. Cit., hlm. 75.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BOX PLANAR SHOND SYSTEM

Makalah Menjadi Guru yang Profesional

Makalah Sejarah Tafsir Al-qur'an pada Masa Rasulullah dan Sahabat