Makalah Istihsan Hukum yang tidak Di Sepakati
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Istihsan
Menurut bahasa istihsan berarti
menilai sesuatu sebagai baik.[1]
Sedangkan istihsan menurut Imam Abu al-Hasan al-Karkhi adalah penetapan hukum
dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan
hukum yang diterapkan dalam masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang
lebih kuat yang menghendaki dilakukanya menyimpang itu.
Sedangkan menurut Istihsan ulama
ushul fiqih Istihsan Ialah berpalingnya seseorang mujtahid dari tuntutan Qias
yang Jali (nyata) kepada tuntutan Qias yang Khafiy (samar), atau dari hukum
kulli (umum) kepada hukum Istisnaiya (pengecualian) ada dalil yang menyebabkan
dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.
Menurut al-Karkhi yang dimaksud
dengan Istihsan ialah berpalingnya seorag mujtahid dari satu hukum pada satu
masalah dari yang sebandingnya kepada hukum yang lain, karena ada suatu
pertimbangan yang lebih utama yang menghendaki perpalingan.
Menurut Abu Zahra
pengertian yang dukemukakan oleh al-Karkhi ini merupaka pengertian yang paling
jelas menggambarkan hakekat istihsan dan menunjukkan pada asas serta isinya,
sebab asas Istihsan itu adalah menetapkan hukum yang berbeda dengan kaedah
umum, karena ada suatu yang menjadikan keluar dari kaedah umum karena ada suatu
yang menjadikan keluar dari kaedah umum itu dapat menghasilkan ketentuan hukum
yang lebih sesuai dengan kehendak syarak dari pada tetap berpegang kepada
kaedah itu. maka berpegang pada Istihsan merupakan cara penetapan hukum yang
lebih kuat dalam masalah tersebut dari pada berpegang kepada qiyas.[2]
Para ulama’ juga ada yang
berpendapat lain terhadap pengertian istihsan ini, namun dari bebagai perbedaan
pendapat itu menurut Imam Abu al-Hasan
al-Karkhi lah yang paling kena menjelaskan tentang istihsan karena mencakup
seluruh macam istihsan serta dapat menyentuh pada asas dan inti pengertiannya.
Asas yang dimaksud ialah adanya diktum hukum yang menyimpang dari kaedah yang
berlaku, sehingga berpegang pada istihsan dalam pemecahan kasus itu lebih kuat dari
pada menggunakan dalil qiyas.[3]
2.
Macam-macam istihsan
Secara sederhana hakikat istihsan
terdiri atas dua macam yaitu : istihsan qiyasi dan istihsan
istitsna’i.
a.
istihsan qiyasi
Adalah suatu bentuk pengalihan hukum
dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan
hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi. Karena adanya alasan yang kuat
untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan yang kuat dimaksudkan adalah
kemaslahatan.
Seperti contoh apabila seseorang
mewakafkan sebidang tanah pertanian untuk kepentingan umum maka berdasarkan
istihsan, yang diwakafkan nya itu termasuk hak pengairan, hak membuat saluran
air di atas tanah itu, dan bentuk-bentuk lainya yang berkaitan dengan tanah
tersebut.
Apabila ketentuan qiyas jali
kepada transaksi jual beli, maka hak-hak tersebut tidak ikut beralih kepada
penerima wakaf. Sebab dalam jual beli, yang penting ialah pemindahan hak milik
dari penjual kepada pembeli. Akan tetapi, karena alasan kemaslahatan, maka
hak-hak tersebut ikut berpindah kepada penerima wakaf. Yaitu dengan cara meng-qiyas-kan
wakaf itu kepada transaksi sewa-menyewa.
Sebagaimana diketahui, binatang buas
itu minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Akan
tetapi, paruh burung buas berbeda dengan mulut binatang buas yang tidak
langsung bertemu dengan hidungnya. Mulut binatang buas terdiri atas daging yang
haram dimakan, sedang paruh burung buas merupakan tulang atau zat tanduk,
sedangkan tulang atau zat tanduk tidak najis. Ketika burung buas minum, daging
dan air liurnya tidak secara langsung bertemu dengan air, karena dipisahkan
oleh paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk itu. Oleh karena itu, air
sisa minuman burung buas tidak najis dan halal diminum.[4]
Perbedaan hukum antara air sisa
minum burung buas dengan air sisa minum binatang buas ini ditetapkan istihsan
qiyasi, yaitu mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas
jali (najis dan haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi
(suci dan halal), karena adanya alasan yang kuat untuk itu yaitu kemaslahatan.[5]
b.
Istihsan istisna’i
Adalah qiyas dalam bentuk
pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada
ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus. Istihsan istitsna’i dibagi
menjadi lima :
1)
Istihsan bi an-nashsh
Adalah
pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk
pengecualian, karena ada nashsh yang mengecualikannya, baik nashsh tersebut
al-qur’an maupun sunnah. (Istihsan
berdasarkan ayat atau hadits).
2)
Istihsan bi al-ijma’
Adalah
pengalihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan yang lain dalam bentuk
pengecualian, karena ada ketentuan ijma’yang mengecualikannya. (istihsan yang
didasarkan kepada ijma).
3)
Istihsan bi al-urf
Adalah pengecualian hukum dari prinsip syariah yang umum, berdasarkan
kebiasaan yang berlaku. (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
Contohnya menetapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu
secara pukul rata, tanpa membedakan jauh atau dekatnya jarak tempuh, adalah
terlarang. Sebab transaksi upah mengupah harus berdasarkan kejelasan pada objek
upah yang dibayar. Akan tetapi, melalui istihsan, transaksi tersebut
diperbolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi menjaga jangan timbul
kesulitan masyarakat, dan terpeliharanya kebutuhan mereka terhadap transaksi
tersebut.[6]
4)
Istihsan bi ad-dharurah
Adalah
suatu keadaan darurat yang mendorong mujtahid untuk mengecualikan ketentuan qiyas
yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang memenuhi kebutuhan mengatasi
keadaan darurat. (istihsan berdasarkan dharurah).
5)
Istihsan bi al-mashlahah al mursalah
Adalah
mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan,
dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslahatan. (istihsan
berdasarkan kemaslahatan).[7]
3.
Kehujjahan Istihsan
Jumhur ulama ushul Fiqh dari mazhab
Maliki, Hanafi, dan sebagian besar Hanbali menyatakan bahwa istihan adalah
salah satu dalil syara’ yang menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan apa
yang diwajibkan oleh qiyas, atau umunya nash. Terutama Hanafiyah sangat
mengutamakan istihsan yang dianggap lebih kuat dan memiliki dalil, serta
meninggalkan qiyas. Hal ini terlihat dalam ungkapan Abu Hanifah: (kami memakai
istihsan untuk hal ini, dan meninggalkan qiyas). Ucapan Abu Hanifah ini
diperkuat oleh Abu Al-Khattab dengan ungkapannya : “Saya menolak istihsan tanpa
delil, dan menerimanya apabila ada dalil yang jelas dan meninggalkan qiyas. Abu
Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan, tetapi ia tidak pernah
menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang dilakukannya itu. Oleh
karena itu dia dikatakan menetapkan hukum hanya menurut kemauannya saja tanpa
memakai metode. Asal sudah dipandang baik sudah bisa menjadi dasar penetapan
hukum, karena demikianlah arti yang ditunjukkan oleh kata isthsan itu. Banyak fuqaha yang tidak
mengetahui hakikat istihsan yang dipraktekkan oleh Abu Hanifah, dan
karena itu menurut Husain Hamid Hassan, berpegangnya Abu Hanifah kepada isthsan
menjadi sumber kritikan terhadapnya. Malah sampai kepada mencelanya sebagai
orang yang tidak mengetahui fiqh dan meragukan kewarakannya.
Bagi Hanafiyah dan Malikiyah pada
hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya
hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang
tersembunyi yang mengalahkan qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor
yang memenangkannya yang membuat tenang hati si Mujtahid. Sedangkan bentuk yang
kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang pengecualian
kasuistis dari hukum kulli (umum), dan ini juga disebut dengan segi istihsan.[8]
Adapun dalil yang dipegang oleh
ulama yang meyakini istihsan sebagai dalil hukum adalah:
ٱلَّذِينَ يَسۡتَمِعُونَ ٱلۡقَوۡلَ
فَيَتَّبِعُونَ أَحۡسَنَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُۖ
وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٨
Artinya : yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar: 18)
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ
وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
Artinya : Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Qs. Albaqarah: 185)
4.
Contoh Istihsan
Contoh istihsan dalam kehidupan
sehari-hari, seorang dokter diperbolehkan melihat bagian anggota tubuh pada
wilayah aurat pasien, untuk ditemukan penyakit yg mengidap di tubuhnya.
Demikian ini dilakukan atas pertimbangan mashlahat dan demi kesembuhan pasien,
karna jika tindakan medis dokter ini dilarang maka sama halnya mengabaikan
kesehatan pasien.
Contoh lain, ada seorang bapak
mewaqafkan 1 hektar tanah miliknya untuk dibangunkan sebuah masjid, dengan
mengatakan, "aku waqafkan 1 hektar tanah ini untuk masjid", tanpa
memerinci apapun yg ada pada bagian2 masjid. akad waqaf dalam fikih selalu
diqiyaskan dengan jual beli, dengan begitu tanah 1 hektar hanyalah masjid,
artinya tidak boleh ada fasilitas-fasilitas apapun didalamnya, seperti tempat
wudhu, tempat sandal, halaman masjid (parkiran), ruang takmir . Nah, jika
terjadi demikian maka fungsional masjid tidak bisa dimanfaatkan secara
maksimal, bahkan mempersulit jama'ah sholat. Beda halnya bila dipandang melalui
kacamata istihsan, fasilitas-fasilitas masjid bisa menjadi ada, sebab
menitikberatkan pada inti mashlahatnya, sehingga menjadikan masjid dapat
berfungsi secara kompleks.
Akan tetapi, setelah diteliti dan
ditelusuri lebih dalam, perbedaan ini terjadi karena masing-masing imam
mempunyai argumentasi atau alasan tersendiri untuk menggunakan dan menolaknya.
Seperti halnya imam as Syafii, menolak menggunakan istihsan, sebab beliau
menganggap dalam diri pelaku istihsan terdapat hawa nafsu dan keinginan mencari
kemudahan. sementara imam hanafi dan imam maliki memilih menggunakanya atas
dasar kebutuhan ijtihady.
Berangkat dari sisi yang berlawanan,
Imam as syathibi, salah seorang generasi ulama syafi'i terkemuka, berusaha
memberi jalan tengah dalam menggunakan istihsan, beliau menuliskannya dalam
kitab Al Muwafaqot, “siapa saja yg menggunakan Istihsan sebagai alat istinbath
hukum maka seketika itu dia dilarang keras menggunakannya atas dasar mencari
kemudahan dan hawa nafsu semata, tetapi juga harus mengerti dan faham dengan
baik tentang tujuan Allah Swt. menetapkan hukum-hukum syariat beserta
kaidah-kaidahnya.
Dan Rupanya standarisasi As syathibi
membuka jalan bagi ulama-ulama kontemporer dewasa ini untuk mulai memakai
istihsan sebagai salah satu komponen untuk menimba hukum, karna istihsan
sendiri dinilai telah mampu beradaptasi dengan problem kekinian.
Kebijakan dan keadilan seorang
mujtahid mengemban langkah determinan dalam memberi solusi terbaik atas masalah
yang dihadapi ummat, sehingga membutuhkan jalan fleksible untuk menuai sebuah
hukum tertentu yang sesuai dan pas untuk dipersembahkan kepada ummat setelah
menyesuaikannya dengan kemampuan mereka.[9]
Komentar
Posting Komentar