SEJARAH HAM, PENGERTIAN HAM

zain smd


BAB II
PEMBAHASAN

Hak Asasi Manusia (HAM) menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa hak asasi manusia itu ada beberapa jenis yang melekat pada diri manusia sejak dalam dalam kandungan sampai meninggal.[1]
Hak asasi manusia dimaksud di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Dasar 1945, baik dalam pembukaan maupun dalam batang tubuhnya. Batang tubuhnya dimaksud, dapat diungkapkan beberapa pasal di antaranya: pasal 5 ayat (1), 20 ayat (1), 26,27,28,29,30,31,32,33 ayat (1) dan ayat (3), dan pasal 34. Namun secara khusus, hak asasi manusia (HAM) diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Oleh karena itu, perbuatan-peruatan seseorang atau kelompok, termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak asasi manusia baik seseorang atau kelompok yang dijamin oleh Undang-Undang dimaksud (Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Taun 1999) akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Pelanggaran hak asasi manusia yang demikian, disebut pelanggaran hak asasi manusia yang ringan. Lain halnya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yaitu pembunuhan masal, pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan, penyiksaan, perbudakan atau diskriminasi. Berdasarkan hal tersebut maka dibentuklah KOMNAS HAM atau suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan atau mediasi hak asasi manusia.[2]

B.     Sejarah Ham
Umumnya para pakar eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum). Menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijaksanaanya kepada parlemen. Jadi sudah mulai dinyatakan bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-Undang pada masa itu lebih banyak berada ditangan raja. Dengan demikian kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka.[3]

C.    Deklarasi Ham
Deklarasi ham yang dicetuskan di perserikatan bangsa-bangsa pada tanggal 10 desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara fasis dan nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi ham itu mengandung makna ganda, baik keluar (antar negar-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negarannya masing-masing. Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna kedalam, mengandung pengertian bahwa deklarasi Ham itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap keijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi Ham sedunia di suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggaran ham di suatu negara ke komisi tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya untuk menjatuhkan sanksi terhadap pemerintah yang bersangkutan.[4]
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi Ham sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang serta bertempat tinggal dimanapun. Semua manusia adalah sama, semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.[5]
Di Indonesia Ham sebenarnya telah lama ada, sebagai contoh Ham di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku lontarak (tomatindo dilagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan adat, maka raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewan adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memutuskan. jadi asas-asas Ham yang telah disorot sekarang, semuannya sudah diterapkan oleh raja-raja terdahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ham sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.[6]

D.    Tiga Hak dalam HAM meliputi Hak sipil, Hak Politik dan Hak Budaya
Secara jelas undang-undang tidak menyebutkan pengertian tentang hak sipil dan politik, namun dapat di simpulkan bahwa Hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar menusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara.
Adapun karakteristik hak sipil dan politik adalah :
1.      Negara bersifat pasif
2.      Dapat diajukan ke pengadilan
3.      Tidak bergantung pada sumber daya
4.      Non-ideologis

Hak-hak sipil dan politik meliputi :
1)      Hak hidup.
2)      Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi.
3)      Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa.
4)      Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi.
5)      Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah.
6)      Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum.
7)      Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama.
8)      Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi.
9)      Hak untuk berkumpul dan berserikat.
10)  Hak untuk turut serta dalam pemerintahan.
Perbedaan hak sipil dan hak politik :
a.       Hak sipil adalah hak kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai hakikat dari keberadaan seorang manusia.
b.      Hak politik ialah hak dasar dan bersifat mutlak yang melekat di dalam setiap warga Negara yang harus dijunjung tinggi dan di hormati oleh Negara dalam keadaan apapun.[7]
Adapun hak asasi budaya antara lain :
a)    Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan.
b)   Hak mendapatkan pengajaran.
c)    Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat.[8]









[1] Darman Prints, Sosialisasi Dan Dimensi Penegakan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 1.

[2] Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 91.
[3] Ubaedillah dan Abdul Rozak (eds.), Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hlm. 252-253.
[4] Ibid., hlm. 257.
[5] Maulana Abdul A’la Maududi, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 49.
[6] Muladi, Hak Asasi Manusia, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 217.
[7] Ibid., hlm. 220.
[8] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BOX PLANAR SHOND SYSTEM

Makalah Menjadi Guru yang Profesional

Makalah Sejarah Tafsir Al-qur'an pada Masa Rasulullah dan Sahabat