SEJARAH TAHLIL DAN ASAL USULNYA
BAB II
PEMBAHASAN
Tahlil
adalah masdar dari hallala yuhallilu
yang secara harfiah mempunyai makna: istadda
artinya menjadi sangat, farikha
artinya gembira, sabbakha artinya
mensucikan dan lailahaillallah yang
artinya mengucapkan lailahaillallah.
Menurut
istilah adalah rangkaian bacaan yang meliputi bacaan beberapa ayat al-Qur’an,
Tasbih, Tahmid, Takbir, Tahlil, sholawat dan bacaan-bacaan lain yang sudah
tidak asing lagi bagi kebanyakan penduduk Indonesia. Jadi dalam perspektif Ilmu
Balaghoh, Istilah Tahlil dengan arti serangkaian bacaan-bacaan seperti di atas
adalah termasuk Majaz Mursal yang ‘alaqohnya Min Ithlaqil Juz wa
Uriida bihil Kul (Menyebutkan sebagiannya saja tetapi yang dimaksudkaan
adalah seluruh rangkaian bacaan-bacaan tersebut).[1]
Dari
sekian makna harfiah di atas, maka makna terkahirlah yang dimaksudkan dalam
pengertian tahlil dalam kajian ini. Dengan demikian Tahlil adalah bacaan lailahaillallah dengan disertai
bacaan-bacaan tertentu yang mengandung fadhilah dan pahala bacaannya
disampaikan kepada Mayit Muslim.
Dalam bacaan tahlil yang ada, maka terdapat
serangkaian ayat al-Qur’an dan kalimat toyyibah sebagai berikut:
1.
Surat al-Fatihah
2.
Surat al-Ikhlas
3.
Surat
al-Muawwidzatain
4.
Surat al-Fatihah
5.
Permulaan dan akhir
surat al-Baqarah
6.
Ayat kursi
7.
Istigfar
8.
Tahlil
(lailahaillah)
9.
Tasbih
- Sholawat Nabi
11. Do’a, yang diakhiri
juga dengan surat al-Fatihah.
Sebelum
Islam masuk ke Indonesia, telah ada berbagai kepercayaan yang di anut oleh
sebagian besar penduduk tanah air ini, di antara keyakinan- keyakinan yang
mendominasi saat itu adalah animisme dan dinamisme. Di antara mereka meyakini
bahwa arwah yang telah dicabut dari jasadnya akan gentayangan di sekitar rumah
selam tujuh hari, kemudian setelahnya akan meninggalkan tempat tersebut dan
akan kembali pada hari ke empat puluh, hari keseratus dan hari keseribunya atau
mereka mereka meyakini bahwa arwah akan datang setiap tanggal dan bulan dimana
dia meninggal ia akan kembali ke tempat tersebut, dan keyakinan seperti ini
masih melekat kuat di hati kalangan awan di tanah air ini sampai hari ini.[2]
Sehingga
masyarakat pada saat itu ketakutan akan gangguan arwah tersebut dan membacakan
mantra-mantra sesuai keyakinan mereka. Setelah Islam mulai masuk di bawa oleh
para Ulama’ yang berdagang ke tanah air ini, mereka memandang bahwa ini adalah
suatu kebiasaan yang menyelisihi syari’at Islam, lalu mereka berusaha
menghapusnya dengan perlahan, dengan cara memasukkan bacaan-bacaan berupa
kalimat-kalimat thoyyibah sebagai pengganti mantra-mantra yang tidak dibenarkan
menurut ajaran Islam dengan harapan supaya mereka bisa berubah sedikit demi
sedikit dan mininggalkan acara tersebut menuju ajaran Islam yang murni dan
benar.
Akan
tetapi sebelum tujuan akhir ini terwujud, dan acara pembacaan kalimat-kalimat
thoyibah ini sudah menggantikan bacaan mantra-mantra yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam, para Ulama’ yang bertujuan baik ini meninggal dunia, sehingga
datanglah generasi selanjutnya yang mereka ini tidak mengetahui tujuan generasi
awal yang telah mengadakan acara tersebut dengan maksud untuk meninggalkan
secara perlahan. Perkembangan selanjutnya datanglah generasi setelah mereka dan
demikian selanjutnya, kemudian pembacaan kalimat-kalimat thoyibah ini mengalami
banyak perubahan baik penambahan atau pengurangan dari generasi ke generasi,
sehingga kita jumpai acara tahlilan di suatu daerah berbeda dengan prosesi
tahlilan di tempat lain sampai hari ini.[3]
C. Manfaat
Tahlilan
Ritual tahlilan merupakan
sebuah hasil proses akulturasi antara adat Jawa dengan norma keislaman. Pada
ritual ini, tidak ada yang tunduk antara yang satu dengan yang lain. Jika
dikatakan Islam tunduk kepada budaya, maka pernyataan itu salah. Kedua hal
tersebut, yaitu kebudayaan dan nilai keagamaan Islam, berpadu menjadi satu
menjadi sebuah inovasi dalam agama Islam. Karena itu, banyak pihak yang menilai
hal tersebut adalah bid’ah yang dlalâlah dan sesat sehingga pelakunya divonis
akan masuk neraka. Padahal, jika ditelusuri dan dikaji secara mendalam,
kontekstual, dan komprehensif, maka akan didapatkan bahwa ritual Tahlilan
tersebut memiliki dasar hukum yang kuat, baik dari Al Quran, maupun hadits dan
dasar hukum yang lain, seperti ijma’ dan qiyas. Dengan begitu, pernyataan bahwa
ritual Tahlilan adalah bid’ah merupakan pernyataan yang keliru karena bid’ah
adalah sesuatu hal yang tidak memiliki landasan syar’i dan tidak dikerjakan di
jaman Rasulullah SAW sedangkan ritual Tahlilan (dan ritual lainnya yang
sejenis, misalkan peringatan meninggalnya seseorang pada hari ke-7, ke-40, 1
tahun, 3 tahun, dan majelis Yasinan) adalah memiliki landasan syar’i.[4]
Meskipun banyak pihak
yang ingin memberantas ritual tersebut dengan alasan yang picik dan tidak
berpikir holistik (dengan memakai alasan lagi-lagi bid’ah), ritual Tahlilan dan
sejenisnya terbukti memberikan banyak manfaat. K.H. Muhyiddin Abdusshomad,
pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam Jember, mengemukakan setidaknya ada enam
manfaat dari ritual Tahlilan tersebuT.
1. Sebagai
ikhtiar (usaha) bertaubat kepada Allah SWT untuk diri sendiri dan saudara yang
telah meninggal dunia.
2. Mempererat
tali persaudaraan antara sesama, baik yang masih hidup atau yang telah
meninggal dunia. Sebab sejatinya ukhuwah Islamiyyah itu tidak terputus karena
kematian.
3. Untuk
mengingat bahwa akhir dari kehidupan dunia ini adalah kematian, yang setiap
jiwa tidak akan terlewati.
4. Di
tengah hiruk pikuk dunia, manusia yang selalu bergelut dengan materi tentu
memerlukan dzikir (mengingat Allah SWT). Tahlil adalah sebuah ritual yang bisa
dikatakan sebagai majelis dzikir karena di dalamnya dibaca berbagai ayat Al
Quran, kalimat, tahlil, kalimat shalawat Nabi, dan bacaan yang lain.
5. Tahlil
sebagai salah satu media dakwah yang efektif di dalam penyebaran agama Islam.
Di dalam Tahlilan, seseorang pasti membaca kalimat Tahlil (lailahaillallah).
Bukankah dengan membaca kalimat Tahlil tersebut seseorang telah menjadi muslim?
Walaupun dia masih perlu pembinaan untuk kesempurnaan imannya, akan tetapi
dengan cara yang kultural ini, tanpa terasa saudara umat Islam semakin
bertambah.
6. Sebagai
manifestasi dari rasa cinta sekaligus penenang hati bagi keluarga almarhum yang
sedang dirundung duka cita.[5]
D. Hakikat Tahlil Berdasarkan Pendapat
Ulama Muhammadiyah
Para ulama Muhammadiyah menganggap bahwa tahlilan
yangdilakukan oleh umat islam untuk mendo’akan orang yang telah meninggal
adalah sesuatu yang bid’ah, karena menurut mereka masalah tahlilan itu tidak
ada dalil yang kuat yang dijelaskan dalam Al-Quran, namun para
ulamaMuhammadiyah tidak mengharamkan pelaksanaan tahlilan tersebut.[6]
Menurut ulama Muhammadiyah bahwa seorang yang telah
meninggal dunia maka segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia yang masih
hidup adalah putus tidak ada kaitan lagi, karena sudah terdapat perbedaan alam
yaitu orang yang meninggal ada di alam barjah, sedangkan orang yang belum
meninggal ada di alam dunia.[7]
E. Hakikat Tahlil Berdasarkan Pendapat
Ulama Nahdatul Ulama (NU)
Kaum muslimin Nahdatul Ulama (NU) mengakui bahwa
tahlilan tidak ada dalil yang menguatkan dalam Al-Quran maupun hadis, namun
kenapa mereka masih melaksanakan acara tahlilan tersebut karena kaum muslimin
Nahdatul Ulama mempunyai pendapat lain bahwa tahlilan dilaksanakan dikeluarga
yang meninggal mempunyai tujuan-tujuan tertentu di antaranya adalah sebagai
berikut :
1. Tahlilan
dilakukan untuk menyebar syiar islam, karena sebelum dilakukantahlilan seorang
imam melakukan ceramah keagamaan.
2. Isi
dari tahlilan adalah dzikir dan do’a dengan kata lain melaksanakan tahlilan
berarti mendo’akan kepada yang meninggal dunia.
3. Menghibur
keluarga yang ditinggalkan dengan kata lain, kaum muslimin yang berada di
sekitar rumah yang ditinggal, maka terjalinlah silaturahmi diantara umat islam.[8]
Dari uraian tersebut di atas, bahwa kaum muslimin
Nahdatul Ulama (NU) walaupun tidak ada dalil yang kuat di dalam Al-Quran dan
hadis namun melakanakan acara tahlilan dengan tujuan yang baik dan tidak
menyimpang dari hadis-hadis lainnya.
Tahlil merupakan fenomena sosial yang melekat dalam
tradisi Muslim Jawa. Hal ini tidak lepas dari peran dakwah Walisongo dengan
ajaran-ajaran Islamnya. Tradisi ini begitu membudaya dan kental dalam masyarkat
Jawa sehingga pada gilirannya menjadi melembaga dalam kehidupan sosial
masyarakat dengan dibentuknya jamiyyah tahlil. Jamiyyah inilah yang secara
efektif dan aktif mengamalkan ajaran tahlil pada setiap Jumat, di samping
tahlil dalam acara selamatan hari kematian masyarakat Jawa. Dengan demikian,
fenomena ini bahkan sampai merambah pada umat lain selain Islam. [9]
Jika tahlillan berhubungan dengan kebiasaan atau adat istiadat di masa lal yaitu prilaku animisme dan dinamisme, hindau maupun budaha ketika islam belum ada. setelah masuk islam hal itu menyatu dengan kebiasaan agama islam. Maka bukankah ini seharus tertolak amalannya. Walaupun sandaran kepada kebaikan. Sebab kepercayaan tahlillan sama halnya di yakini dengan sifat asal kepercayaan masa lampau yang dianggap memiliki banyak manfaat. Apalagi disandarkan pada isam maka akan lebih mustajab alias terkabulkan doa apa yang menjadi keinginan mereka. Jika kita sandarkan pada al quran tentu sebenar ini keliru dengan membagi al quran kedalam bentuk tahlilan.
BalasHapuskalaulah tradisi tahlilan ada dasar syariatnya kenapa nabi muhammad salallahualaihiwasalam ttidak melakukannya.begitu juga dengan para sahabat dan para tabi'in.kalaulah dasarny alquran apakah mereka yang melaksanakan tahlilan kematian lebih paham akan al qur'an dibandingkan para sahabat dan ulama terdahulu.sudah jelas tadinya itu suatu traidisi kemudian datang islam para wali ( sunan kalijaga ) menggantinya dengan bacaan tayyibah dengan tujuan supaya islam diterima dan setah itu akan dihapuskan perlahan / tradisi itu dihilangkan . walaupun kebijakan sunsn kalijaga ditentang oleh wali yang lain karena menyalahi syariat.
BalasHapus